Masih teringan dalam benakku, 3 hari yang lalu. Tepatnya sepulang dari acara rekreasi guru2 sekolah tempat aku mengajar. Sekitar pukul 9 malam, seperti biasa.. kota jogja diselimuti udara dingin yang menusuk hingga terasa sampai sumsum tulang belakang. Maklum saja, bulan juni adalah saat ganas2nya kemarau melanda kota tercinta ini. Kembali ke cerita awal, saat itu aku dan teman2n sampai di rumah Bu Diah, salah satu rekan kerja sebagai pengajar di sekolahan. Dari situ siangnya kami berkumpul, berbincang-bincang menyususn rencana sekaligus menitipkan sepeda motor dan akhirnya kami kembali untuk mengambilnya, lalu pulang.
Diantara kami, memang tidak semuanya menggunakan sepeda motor. Bu Andri contohnya, beliau yang setiap harinya setia dengan sopir pribadi, akhirnya merasa terhianati karena kalau malam hari sopirnya tak mau datang menjemputnya. Tapi akhirnya beliau sadar, kalau malam memang tidak ada bus warna hijau (ciri khas trans Jogja) rela beroprasi hanya untuk mengantarnya sendirian. Akhirnya.. atas dasar perseteruan yang begitu panjang, saya yang memang bermental seorang pahlawan bersedia untuk mengantarnya pulang. Bukan karena kasihan, tapi memang saya takut orang2 mengira bahwa jam belajar diperpanjang karena malam2 masih ada seorang guru melakukan sidak di jalanan.
Motor ku keluarkan perlahan-lahan dari rumah Bu Diah, tak lupa ucapan terimakasih dengan berpura-pura tak mendengar tarikan jasa parkir yang perlahan lahan mulai terdengar sayup2. Motor ku engkol dengan mantap, hidup.. lalu mati lagi. Pertanda bensin sudah mencekik tangki. Ku enkol lagi, hidup.. lalu ku geber2 aja biar gak mati.. Bu Andri naik, langsung aja kutancap gas.. lalu melenggang ringan menuju kerumunan jalanan kota yang penuh dengan warna-warni rambu-rambu lalu lintas.
Tak berapa lama sampai di daerah Alun-alun utara, masih ramai dengan manusia2 yang sibuk dengan berbagai aktifitasnya. Aku tersadar, mengapa roda motor ini berputar sampi di situ? pertanyaan itu langsung terjawab tatakala Bu Andri mengatakan rumahnya memang daerah situ. Tepatnya daerah kompleks Widya Mataram. Akhirnya aku tersadar lagi, untuk kedua kalinya merasakan roda motor ini terasa begitu aneh. geyol kanan-kiri seperti trio macan yang sedang kesurupan. "Apa yang terjadi terjadilah.." gumamku dalam hati. Tentunya kita semua akan tau lanjutan kejadiannya jika sudah membaca judul cerita diatas. Tak jauh2 dari ban kempes, bocor, dop cepol, ban robek, dan yang paling benar adalah ban bocor.. itu intinya.
Dengan sisa sisa tenaga yang tadi siang kami gunakan untuk bersenang-senang, kami menuntun motor. Muka kami yang telah kusut macam cucian yang sudah diperas habis airnya membuat beberapa orang yang berpapasan dengan kami menunjukkan lokasi keberadaan sang tukang tambal ban. Kami mengucapkan terimakasih sampil melemparkan senyum termanis yang pernah kami miliki. Sampai pertigaan ngasem ke barat, tepatnya depan kampus Widya Mataran, tak terlalu jauh dari TKP ban bocor, kami menemukan tukan tambal keliling yang masih bertugas disitu, dan masih ada satu pasien menunggu. Kami menghela nafas panjang, seolah-olah beban yang kami miliki selama ini lenyap begitu saja. "nambalke pak.." sampil tersenyum riang aku menyapa pak tukangnya. "injih mas.." Dengan ramah pak tukang membalas sapaan, atau lebih tepatnya permintaan tolongku itu.
Bu Andri, yang dari tadi sudah berdiri kaku, dengan muka yang hampir kebiruan, kupersilahkan segera pulang agar segera mendapatkan perawatan intensif di rumahnya. Setidaknya segera mandi dan makan malam karena rumahnya yang tak jauh lagi dari lokasi tambal ban.
Pukul 9.30 malam, masih dengan suasana malam yang sedingin kota mexico, atau paris, atau mana saja yang disitu aku sendiri belum pernah mendatanginya. Pak tukang, begitu saja mungkin saya menyebutnya.. dengan balutan kaos putih tipis, mungkin begitu warna aslinya karena sekarang sudah berubah menjadi keabuan, dengan badan yang kurus, agak hitam.. emmb, tubuh dekil, dengan gerobak kecil penuh dengan alat2 tambal bannya. Mohon maaf pak tukang kalau saya menggambarkannya terlalu mengenaskan. Tapi kurang lebih seperti itu. Mungkin juga karena baru saja selesai mengerjakan puluhan pasien pada waktu itu, semoga saja.
Pak tukang dengan sigap segera mengerjakan roda motorku yang bocor, membedahnya, mengecek bagian yang bocor, menggosoknya, lalu menempelinya dengan kompon tambal ban.. begitulah kira2 urut2an menambal ban. Besi penambal yang telah selesai digunakan pada pasien sebelumnya, digunakan bergantian, dan tibalah giliran ban milikku. Tangannya sangat lincah, sepertinya pak tukang sudah sangat profesinal dibidangnya.. entah kapan ada agenda sertifikasi tukang tambal ban dari pemerintah. Kudekati pak tukang, kutanyakan sebab dan asal muasal peristiwa ban bocor itu terjadi, "nanti saya cek mas, ini belom saya cek.." dengan ramah beliau menjawab segala rasa penasaranku. Tapi hati ini sedikit lega, bocornya hanya kecil, mungkin terkena pecahan kaca yang tak sengaja ku lindas beberapa waktu yang lalu.
Proses penambalan berjalan mulus, ban kembali ke jalan yang benar dengan rapi. Pak Tukang mengeluarkan sejata saktinya, pompa ban manual khas tahun 80an yang sudah mulai karatan. Di pompanya pelan-pelan dengan penuh.. perasaan. Dengan berniat membantunya, aku menekan ban untuk sekedar memperkirakan tekanan udara yang sudah masuk. "sedah pak, segini saja" kataku dengan lantang, supaya Pak Tukang segera menghentikan proses memompanya sebelum keringatnya menetes deras dan menghabiskan energi dari makan malamnya. Tak lupa saya berdoa supaya beliau tidak lupa makan malam sebelumnya.
Cerita berlanjut, proses tambal ban selesai, hatiku riang gembira karena bisa kembali ke rumah dengan berbagai macam fasilitas yang tersedia di sana. "pinten pak?" tanyaku pada pak tukang. "gangsal ewu mas.." jawab beliau singkat. Seketika itu juga darahku serasa beku, tubuhku linu, mataku mlongo, mulutku sedikit terbuka. Intinya aku mlongo. Lima ribu perak? bukannya aku menyepelekan uang bergambar pahlawan Tuanku Imam Bonjol itu, tapi bisa kita bayangkan..atau kalau kita teliti bersama, harga segitu hanya bisa ditukar dengan 3 bungkus roti atau 3 gelas es teh. Atau kalau di ingit lagi, uang segitu adalah ongkos tambal ban 10tahun yang lalu. Bagaimana anda memberi makan anak-istri anda di rumah pak? bagaimana memikirkan biaya putra-putri bapak di rumah? ini sudah di atas jam 9 malam pak, apa gak di hitung ongkos lembur? ya sudahlah.. segitu aja cerita kagetnya.
Intinya, saya sungguh kagum dengan kemuliaan hati Pak Tukang. Membantu orang yang sedang dilanda kesusahan dengan sepenuh hati, tanpa ada niat memeras. atau paling tidak memberi nilai dengan harga sedikit lebih tinggi. Beginilah seharusnya mental pemimpin bangsa, para pejabat, para petinggi, atau yang lainnya. Subhanalloh...
ilustrasi Pak Tukang tambal ban |
Ku buka dompet denga segera, tinggal ada selembar lima ribuah dan selembar limapuluh ribuan dan selembar seratus ribuan,.. ya, sama.. saya juga lagi susah sebenarnya. Otak mulai berpikir keras, niat ingin memberi ongkos lebih, tapi kalau disuruh memberikan lembar yang lain, hati takut tidak iklas.. lagi2 ya sudahlah.. hanya segitu yang bisa kubayar. Tapi doaku agar engkau selalu dilindungi dan diberkahi dalam setiap pekerjaanmu Pak Tukang. Mungkin, aku belum bisa menjadi orang seperti dirimu.. lagian, doaku mungkin juga tak semustajab orang sepertimu, tapi aku yakin Alloh maha mengetahui segala isi hati hambanya.
Motor segera ku nyalakan, kembali merayap dintara padatnya pusat kota, dan sampai di rumah dengan selamat sentosa. Dari cerita ini, semoga dapat kita petik hikmah dari semua kejadian yang kita lalui. see u next time :)